Kemajuan teknologi yang memudahkan manusia untuk saling berkomunikasi, berbagi informasi bahkan bertransaksi secara elektronik, telah menjadi “ruang baru” bagi terjadinya suatu tindak pidana, terlebih berupa tindak pidana pencemaran nama baik. Kenyataan demikian sudah pasti menjadi salah satu alasan sehingga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atau yang secara singkat sering disebut “UU ITE”, menjadi mengatur pula tentang tindak pidana pencemaran nama baik.
Pencemaran nama baik secara esensi merupakan satu tindak pidana berupa perbuatan yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut menjadi tercemar atau rusak. Dalam UU ITE, ketentuan tentang tindak pidana pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 43 ayat (1).
Penting untuk diketahui, bahwa pasal pencenaran nama baik dalam UU ITE atau Pasal 27 ayat (3), tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pasal 310 dan Pasal 311 tentang penghinaan dalam KUHP. Hal ini berdasar pada adanya penegasan dari Mahkamah Kostitusi dalam putusannya atas permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Mengenai hal ini, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE menegaskan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict. Lebih jauh dalam putusannya, Mahkamah Kostitusi juga menegaskan bahwa delik pencemaran nama baik Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Secara lengkap, dalam pertimbangannya pada butir [3.17.1] Mahkamah Konstitusi menjelaskan : "Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan".
Tidak terlepas dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas, sangat beralasan ketika ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam KUHP dijadikan sebagai genus delict atas keberlakuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, mengingat bahwa sebelumnya pengaturan tentang tindak pidana pencemaran nama baik telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengacu pada KUHP, tindak pidana pencemaran nama baik dikenal sebagai pasal "penghinaan" yang secara khusus pengaturannya terdapat dalam Bab XIV tentang Penghinaan yaitu termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP. Dalam KUHP, sebagaimana Pasal 319, terhadap jenis delik atas pencemaran nama baik, telah secara tegas menyebutkan bahwa tindak pidana pencemaran nama baik merupakan delik aduan. Berbeda halnya dengan KUHP, dalam UU ITE tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan secara jelas tentang apakah tindak pidana pencemaran nama baik yang termuat di dalamnya merupakan delik aduan atau tidak.
Kejelasan tentang jenis delik atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE penting untuk diperhatikan, mengingat di dalam ketentuan pidana terhadap setiap jenis delik pidana tertentu menghendaki syarat tertentu dalam pelaksanaannya. Bahwa ketika tindak pidana pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, yang kemudian merupakan delik aduan, maka secara benar dalam pelaksanaannya, dalam hal deliknya hanya dapat dilakukan pelaporan atau pengaduan terbatas oleh setiap orang yang merasa nama baiknya telah tercemar atau rusak. Selain itu, terhadap yang diduga sebagai pelaku yang menjadi terlapor atau teradunya terbatas pada setiap orang, bukan institusi atau badan hukum atau pemerintah. Mengenai hal ini, sejalan dengan yang diterangkan oleh kepala subdit penyidikan Cyiber Crime Kementrian Komunikasi dan informatika (Kominfo) RI, TEGUH ARIFIYADI, S.H. M.H., dalam keterangannya sebagai Ahli Hukum khusus UU ITE dalam perkara No. 1933/Pid.Sus/X/2016 di Pengadilan Negeri Makassar, dengan terdakwa atas nama Yusniar sebagaimana Nota Pembelaan Tim Kuasa Hukumnya. Berdasarkan keahliannya, TEGUH ARIFIYADI, S.H. M.H., menerangkan bahwa Pasal 310 dan 311 unsurnya adalah harus seseorang yang diserang kehormatannya di muka umum, hanya boleh ditujukan kepada orang perseorangan, tidak boleh institusi atau badan hukum atau pemerintah.
Secara khusus, hal penting lain yang perlu diketahui perihal tindak pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE yaitu tentang bentuk perbuatan yang dijerat dalam Pasal 27 ayat (3), serta tentang adanya perubahan ancaman pidananya. Dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (3), berbunyi : “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Terhadap bunyi Pasal 27 ayat (3) yang demikian, Muhammad Rizasdi, SH., dalam Anotasi Putusan Pencemaran Nama Baik Melalui Media Internet No. Register Perkara: 1333/Pid.Sus/2013/PNJKT.SEL (Terdakwa Benny Handoko), hal. 25, yang diterbitkan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI - FHUI), Cetakan Pertama, November 2015, menyatakan bahwa bentuk perbuatan yang dijerat oleh pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah perbuatan yang menyebarluaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan negatif tanpa hak. Artinya, selama penyebarluasan tersebut dilakukan dengan cara yang sah, maka pasal ini tidak tepat dikenakan terhadap terdakwa.
Masih oleh Muhammad Rizasdi, SH., lebih lanjut dijelaskan bahwa rumusan pasal 27 ayat (3) UU ITE menekankan pada perbuatan menyebarluaskan melalui perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik. Rumusan tersebut tidak secara tegas menunjuk pada perbuatan menuduh seseorang melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Hal ini berbeda dengan rumusan delik penghinaan pada KUHP. Dalam pasal 310 ayat (1) disebutkan secara tegas bahwa rumusan perbuatan yang dilarang adalah menuduhkan sesuatu hal. Rumusan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan penghinaan di KUHP ditujukan terhadap orang yang secara langsung menghina seseorang dengan cara menuduhkan suatu hal atau perbuatan, tanpa memperdulikan sifat perbuatan tersebut apakah secara sah atau tanpa hak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pasal 27 ayat (3) tidak tepat untuk dikenakan terhadap pelaku utama penghinaan, pasal ini merupakan delik penyebarluasan secara tanpa hak atas suatu tuduhan yang memuat unsur penghinaan yang dilakukan melalui media elektronik berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dengan demikian, sependapat dengan Muhammad Rizasdi, SH., bahwa rumusan pasal 27 ayat (3) akan tepat digunakan terhadap orang yang dengan sengaja menyebarluaskan suatu pernyataan penghinaan di internet. Terhadap penghinaan itu sendiri pada dasarnya akan lebih tepat apabila dikenakan dengan pasal penghinaan sebagaimana diatur dalam KUHP.
Terakhir, mengenai ancaman pidana terhadap tindak pidana pencemaran nama baik atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaiman termuat dalam Pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan : “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”, Khusus mengenai ancaman pidana tersebut, dengan telah dilakukannya perubahan terhadap UU ITE sebagaiamana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, ancaman pidana atas pencemaran nama baik dalam UU ITE turun menjadi 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sehingga terhadap pelaku pencemaran nama baik dalam UU ITE dimungkinkan untuk tidak dilakukan uapaya paksa berupa penahanan.