DARI KADES DAN ANGGOTA BPD TIDAK AKUR, HINGGA PERLU KAH PEMUDA USAHA RACUN KALAJENGKING ?


OLEH : TUKANG FOTO*

GUNUNG LONER, JOROK TIRAM – TALIWANG : Praktek penyelenggaraan pemerintahan yang tidak harmonis selalu mewarnai kehidupan birokrasi, apalagi lagi di tengah kondisi zaman yang terkenal dengan sebutan “zaman now” seperti saat ini.

Kenyataan soal pemerintah tak harmonis bukan menjadi rahasia lagi, sebab telah sering dipertontonkan secara gamblang mulai dari penyelenggaraan birokrasi pada level pemerintah pusat, daerah, hingga tak terkecuali pada skop birokrasi terendah yaitu pemerintah desa. Hanya pemerintah tingkat RT (Rukun Tetangga) yang barangkali selalu rukun dan damai.

Memang, ketidakharmonisan bukanlah perkara “haram” untuk dipraktekkan. Selain karena menilainya sangat bergantung pada acuan dan alasan mana yang digunakan menjadi rujukan, juga dalam arti politis terdapat kondisi yang memang sangat memerlukan ketidakharmonisan (Baca : Politik Anggaran). Namun singkatnya, sekedar dengan niat untuk menjalankan amanah sebagaimana tugas dan fungsi pemerintah dengan dasar aturan sebagai acuan, atau dengan alasan untuk kepentingan pemberi amanah (masyarakat yang memilih, warganya); tidak-harmonis sebab alasan ini justru hukumnya fardu ain untuk diapresiasi.

Dalam prakteknya, tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak alasan yang mendasari terjadinya ketidakharmonisan antar penyelenggara pemerintahan. Pada pokoknya, alasan tersebut bertumpu pada dua faktor pemicu atau dorongan yang dilematis, yaitu karena dorongan hasrat untuk memenuhi kepentingan pribadi – dengan memanfaatkan jabatan publik, dan karena dorongan hasrat untuk melaksanakan kewajiban atas nama kepentingan publik - namun menyalahi aturan yang mengamanahi.

Sayangnya, banyak kisruh ketidakharmonisan justru bertumpu dan terjadi dilatarbelakangi oleh besarnya kepentingan yang sifatnya pribadi yang dijadikan alasan. Parahnya, praktek semacam ini ternyata mampu mengikis suatu tatanan pemerintahan yang terkenal dibangun atas pondasi nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah-mufakat, yaitu pemerintahan desa. Tidaklah heran bila kemudian ditengah kehidupan masyarakat desa santer terdengar soal adanya Kades (Kepala Desa) dan Anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang tidak akur.

Beberapa alasan yang disebut-sebut menjadi dalang ketidakharmonisan pemerintah desa, diantaranya disebabkan oleh kondisi : minimnya keterbukaan informasi dan sosialisasi khususnya terkait anggaran oleh pemerintah, kurangnya partisipasi dan daya kritis masyarakat dan pemuda desa, kurangnya rasa saling percaya, keberadaan pendamping desa antara harapan dan kenyataan, sifat mengutamakan keluarga dekat atau kroni yang menyalahi aturan (Nepotisme) pejabat pemerintah, dan lainnya.

Sementara itu, untuk alasan : karena Kades atau BPD jadi bulan-bulanan “pergunjingan” karena salah satu pihak tidak mendapat bagian dalam pengerjaan atau realisasi “proyek” pembangunan desa, karena jual-beli tanah beda ukur yang berujung mundur, -atawa- karena turun investigasi berujung mutasi karena anggota BPD lapor ngawur; kesemuanya alasan tersebut masih simpang-siur.

Walaupun demikian, selalu ada yang patut untuk disyukuri. Pasalnya, sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga tahun 2018 ini, kondisi ketidakharmonisasi antar Kades dan Anggota BPD tidak pernah ada yang dipicu oleh alasan beda pilihan Partai, meski aturan secara jelas melarang jabatan keduanya terlibat dalam urusan kepartaian. Pun, tidak juga ada Ketua BPD yang mau mempermasalahkan anggotanya karena menjadi pengurus partai. Bersyukur, karena tidak pernah ada ketidak-akur-an yang dipicu oleh alasan salah satu pihak merasa sengaja tidak dilibatkan dalam setiap pertemuan dengan tidak mendapatkan surat undangan rapat. Apalagi karena alasan yang jelas-jelas masih simpang-siur seperti karena alasan anggota BPD telah menyampaikan laporan dugaan penyelewengan “ngayur” terkait pengelolaan keuangan desa oleh Kades dengan dasar pendapat atau pandangan yang yang sifatnya pada perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang ditambah dengan adanya dorongan untuk memenuhi sentimen pribadi.

Ada untung yang didapatkan dari bersyukur, jika pemerintah desa memang berkeinginan membangun kehidupan desa sejak dini, kini tak diragukan lagi bahwa racun (bisa) kalajengking pun cukup untuk membangun desa. Menjadi tidak penting Kades dan BPD tidak akur, karena dengan adanya informasi racun kalajengking yang harganya mahal sekali, sekedar pemuda saja yang ambil alih dengan membuka usaha kalajengking ini, masalah pembangunan di desa bisa teratasi. Dengan demikian, usaha ini perlu sekali ditekuni oleh pemuda mulai saat ini.

_____
*Tukang Foto : Seorang cecunguk semprul.
Share:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar dengan baik.

Isu Hangat

LALU SULAIMAN

Dan seandainya saya menjadi GUBERNUR, maka saya akan "Membesarkan yang kecil dan menguatkan yang lemah". Itu saja sihh.----»S e l e n g k a p n y a
Artikel Terkait
» Artikel 1
» Artikel 2
» Artikel 3